Mengenal Rabies dan Sejarahnya di Indonesia

  • Rabu, 16 September 2020 - 09:07:34 WIB
  • drh. S. Wahyudi, M.Si
Mengenal Rabies dan Sejarahnya di Indonesia

Rabies atau dikenal sebagai Lyssa, Tollwut, Hydrophobia, atau di Indonesia dikenal sebagai  Anjing Gila adalah infeksi viral dan akut pada susunan saraf yang klinis ditandai  kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas dan merupakan masalah pada manusia karena bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia).

Rabies merupakan salah satu penyakit tertua dan paling ditakuti manusia, pertama kali dikenal di Mesir (Zaman Pemerintahan Kerajaan Babilonia) dan Yunani Kuno sekitar tahun 2300 sebelum Masehi. Rabies selanjutnya ditemukan di sebagian besar dunia, termasuk Indonesia. Sedangkan Negara-negara yang bebas rabies adalah Australia, Selandia Baru, Inggris, Belanda, Kepulauan Hawaii (Amerika Serikat), dan sejumlah pulau-pulau terpencil di Pasifik.

Tiap-tiap negara yang mengenal rabies mempunyai vektor-vektor utama sendiri. Di Amerika Selatan dan Tengah yang beriklim tropis, anjing, kucing, kelelawar penghisap darah (vampire) dan kelelawar pemakan serangga memegang peranan sebagai vektor rabies. Di seluruh Negara di Afrika yang memegang peranan sebagai penyebar utama ialah anjing, kucing, jakal dan monggus. Di Timur Tengah yang meneruskan rabies terutama pada lembu yaitu anjing, dan anjing hutan (wolves). Sedangkan di Asia yang berperanan sebagai penyebar rabies adalah anjing dan kucing.

Penyebab

Rabies disebabkan oleh virus yang termasuk dalam keluarga Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. Rhabdovirus merupakan golongan virus yang bentuknya menyerupai peluru, dengan panjang kira-kira 180 nm dan garis tengahnya 75 nm. Pada permukaannya terdapat bentuk-bentuk pancang (spikes) yang panjangnya 9 nm.

Virus rabies peka terhadap panas. Suspensi virus sudah diinaktifkan pada suhu 50 selama 15 menit. Fenol, eter, chloroform, formaldehid dan basa ammonium kuartener dapat menginaktifkan virus rabies.

Gejala Klinis

Gejala klinis rabies mirip pada sebagian besar spesies, tetapi sangat bervariasi antar individu. Setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa inkubasi biasanya antara 14-90 hari tetapi bisa sampai 7 tahun. 95% masa inkubasi rabies 3-4 bulan, dan hanya 1% kasus dengan inkubasi 7 hari sampai 7 tahun. Karena lamanya masa inkubasi tersebut kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan.

Gejala klinis pada hewan dikenal dua bentuk yaitu bentuk beringas dan bentuk paralisis. Bentuk beringas hewan menjadi gelisah, gugup, agresif dan menggigit apa saja yang ditemuinya, respon berlebihan pada suara dan sinar, takut air (hydrophobia) dan keluar air liur berlebihan (hipersalivasi).

Bentuk paralisis ditandai dengan ensefalitis disertai kelemahan bagian belakang tubuh yang menyebabkan hewan berjalan terhuyung-huyung, keganasan berubah menjadi kelumpuhan, kejang-kejang, koma dan terhentinya pernafasan hingga berakhir dengan kematian.

Rabies di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena hampir selalu menyebabkan kematian (always almost fatal) setelah timbul gejala klinis dengan tingkat kematian sampai 100%.

            Rabies pada manusia biasanya melalui kontak dengan binatang anjing, kera, kucing, serigala, kelelawar  melalui gigitan atau kontak virus lewat air liur dengan luka. Infeksi lain yaitu melalui inhalasi dilaporkan pada orang yang mengunjungi gua-gua kelelewar tanpa adanya  gigitan. Virus masuk ke dalam ujung saraf yang ada pada otot di tempat gigitan dan memasuki ujung saraf tepi sampai mencapai sistem saraf pusat  yang biasanya pada sumsum tulang belakang selanjutnya menyerang otak

Gejala awal rabies pada manusia berupa demam disertai rasa kesemutan pada tempat  gigitan, malaise (rasa tidak enak badan), mual, dan rasa nyeri di tenggorokan. Selanjutnya disusul dengan gejala cemas, gelisah dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensoris (stimulus-sensitive myoclonus). Tonus otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala-gejala hipersalivasi, hiperlakrimasi, pupil dilatasi dan paralisis, koma kemudian berakhir dengan kematian.

Sejarah Rabies di Indonesia

Rabies di Indonesia pertama kali ditemukan pada kerbau oleh Esser (1884), anjing oleh Penning (1889), dan pada manusia oleh E.V.de Haan (1894) yang ketiganya ditemukan di Jawa Barat. Selanjutnya beberapa tahun kemudian kasus rabies ditemukan di Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (1953),  Sumatera Utara (1956), Sumatera Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975),  Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983), Pulau Flores NTT (1997), Pulau Ambon dan Pulau seram  (2003).

Dengan tertularnya Bali sebagai daerah wabah baru sejak 1 Desember 2008 melalui Peraturan menteri Pertanian No.1637/2008 maka daerah bebas sampai saat ini adalah NTB, NTT kecuali Pulau Flores, Maluku, Irian Jaya (sekarang Papua), Kalimantan Barat, Pulau Madura dan sekitarnya, Pulau-pulau di sekitar Pulau Sumetera, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Rabies pada manusia telah menimbulkan banyak korban. Dari tahun 1977 hingga 1978 sebelas provinsi mencatat 142 kasus rabies pada manusia. Selama periode 1979-1983 di Indonesia telah dilaporkan 298 kasus rabies dengan rata-rata 60 kasus per tahun. Penyebaran daerah rabies berjalan terus sampai sekarang. Pada dekade Sembilan puluhan kejadian di Pulau Sumetera per tahun tidak kurang dari 1000 kasus hewan ditemukan menderita rabies. Sedangkan kasus rabies yang dilaporkan di Pulau Flores selama tahun 1997-2005 dari 11.786 jumlah gigitan hewan penular rabies (HPR), sebanyak 149 orang dinyatakan meninggal (1,35%). Insiden rata-rata per tahun kasus rabies pada manusia memang kecil dibandingkan dengan penyakit menular lainnya namun efek psikologisnya sangat besar terutama pada manusia yang telah digigit anjing dan secara ekonomis sangat merugikan karena dapat mengancam kepariwisataan.

Pencegahan dan Pengendalian

Virus rabies tidak stabil di lingkungan dan biasanya hanya menimbulkan resiko bila ditularkan melalui gigitan atau cakaran hewan penderita rabies. Karena di Indonesia umumnya HPR adalah anjing, maka menurut Ressang (1983), bila rabies dapat diberantas pada anjing maka dengan sendirinya penyakit ini tidak akan menyerang lebih luas. Dengan kata lain vektor utama rabies harus dapat dikendalikan untuk dapat mengurangi resiko penularan lebih lanjut dari rabies tersebut.

Lebih lanjut menurutnya pemberantasan rabies di Indonesia hendaknya berdasarkan: 1). penyadaran kepada masyarakat tentang arti rabies dan mengikutsertakannya dalam kampanye pemberantasan rabies. 2). Eliminasi anjing liar sebagai vektor utama yang menyebarkan virus rabies. 3). Vaksinasi, sebagai tindakan preventif baik pada hewan maupun manusia.

Sedangkan Tri Satya Naipospos (mantan Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan) menyarankan bahwa pengendalian terhadap rabies dengan metode LAS (Local Area Spesific Problem Solving) atau pemecahan masalah melalui pendekatan spesifik wilayah karena permasalahan spesifik masing-masing daerah berbeda. Secara umum kegiatan pengendalian dilakukan dengan vaksinasi semua populasi HPR, observasi terhadap hewan tersangka rabies, eliminasi HPR liar, pemberian Vaksin Anti Rabies bagi orang beresiko tertular, dan yang paling penting terutama pengawasan lalu lintas antar kabupaten/kota dengan pemanfaatan pos (check point) dan di pintu-pintu masuk (entry point) oleh petugas karantina untuk mencegah masuknya rabies ke daerah bebas atau mencegah penularan lebih luas.

Untuk perawatan kepada orang sesudah digigit oleh anjing atau dicurigai menderita rabies yang terpenting adalah  perawatan pada luka/tempat gigitan. Pertama luka dibiarkan mengeluarkan banyak darah, kemudian luka dibersihkan dengan sabun dan selanjutnya luka didesinfeksi (bisa dengan alkohol 40-70%, basa ammonium kuartener, atau yodium tincture). Virus dalam luka dapat dinetralisir dengan suntikan infiltrasi jaringan di sekitar luka dengan serum imun atau dengan menebarkan bedak desinfektan dalam luka.

 

 

  • Rabu, 16 September 2020 - 09:07:34 WIB
  • drh. S. Wahyudi, M.Si

Berita Terkait Lainnya